Paulus mengirim surat kepada Timotius:
Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau. (1 Timotius 4:16, tambahkan penekanan).
Setiap pelayan harus ingat hal ini di dalam hatinya, sambil memperhatikan, pertama-tama kepada dirinya sendiri, dan meyakini bahwa ia menjadi teladan kesucian.
Kedua, ia harus memperhatikan ajarannya dengan cermat, karena keselamatan kekal baginya dan keselamatan kekal bagi orang yang mendengarkannya tergantung pada hal yang dia ajarkan, seperti tulisan Paulus pada ayat di atas.[1]
Jika seorang pendeta memegang doktrin palsu atau menolak berkata kebenaran kepada orang-orang, maka akibatnya bisa membawa kehancuran kekal baginya dan orang-orang lain.
Tetapi, pelayan pemuridan tak punya alasan untuk mengajar doktrin palsu, karena Allah telah memberinya Roh Kudus dan FirmanNya untuk memimpinnya kepada kebenaran. Sebaliknya, pelayan yang bermotif keliru sering hanya meniru ajaran-ajaran populer dari pelayan lain, tanpa ia sendiri mempelajari Firman, dan ia cenderung melakukan kesalahan doktrin dan pengajarannya. Tindakan aman bagi pelayan dalam hal itu adalah memurnikan hatinya, sehingga ia yakin bahwa motifnya hanya untuk (1) menyenangkan Allah, dan (2) membantu orang-orang untuk siap berdiri di hadapan Yesus, bukannya menjadikan dirinya kaya, kuat atau populer. Juga, ia harus tekun belajar Firman Tuhan sehingga ia memahami secara menyeluruh dan seimbang tentang hal itu. Paulus juga bersurat kepada Timotius,
Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu. (2 Timotius 2:15).
Membaca, mempelajari dan merenungkan Firman Tuhan haruslah menjadi disiplin yang terus dilakukan oleh seorang pendeta. Roh Kudus akan menolongnya mengerti Firman Tuhan dengan lebih baik ketika ia rajin belajar, sehingga dapat dijamin ia akan “menangani firman kebenaran dengan akurat.” Satu masalah besar dalam gereja sekarang adalah kesalahan penafsiran Firman Tuhan oleh pelayan, sehingga menyesatkan orang-orang yang diajarinya. Kesalahan itu menjadi masalah serius. Yakobus ingatkan,
Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. (Yakobus 3:1).
Karena itu, pelayan pemuridan harus tahu cara penafsiran Firman Tuhan dengan benar, demi memahami dan menyampaikan arti dengan akurat maksud tiap teks yang diberikan.
Menafsirkan Firman Tuhan dengan benar dilakukan dengan cara yang sama dengan menafsirkan perkataan orang lain dengan benar. Jika ingin mengerti dengan akurat maksud seorang penulis atau pembicara, kita harus terapkan aturan-aturan khusus dalam membuat tafsiran, yakni aturan-aturan sesuai akal-sehat. Dalam bab ini, kita akan perhatikan tiga aturan penting dalam menafsirkan Alkitab secara gamblang, yakni (1) Bacalah dengan pemahaman otak, (2) Bacalah berdasarkan konteks, dan (3) Bacalah dengan jujur.
Aturan #1: Bacalah dengan pemahaman otak. Tafsirkan apa yang anda baca secara apa adanya jika apa yang anda baca tidak jelas dinyatakn maksudnya agar dipahami sebagai bermakna kiasan atau simbolik.
Seperti karya-karya sastra lain, Alkitab penuh dengan gaya bahasa metafora, hiperbola dan antropomorfisme. Tiap gaya bahasa itu harus dipahami sebagaimana adanya.
Gaya bahasa metafora adalah perbandingan kemiripan-kemiripan antara dua benda yang tak sama. Alkitab mengandung banyak metafora. Satu metafora terdapat dalam perkataan Kristus selama Perjamuan Terakhir:
Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28).
Apakah Yesus bermaksud bahwa roti yang Ia berikan kepada murid-muridNya adalah tubuhNya dalam arti sebenarnya dan bahwa anggur yang mereka minum adalah darahNya dalam arti sebenarnya? Akal sehat menyatakan Tidak. Alkitab berkata bahwa Yesus memberi mereka roti dan anggur; Alkitab tidak menyatakan penggantian menjadi daging dan darah, dalam arti sebenarnya. Petrus dan Yohanes, yang hadir pada Perjamuan Terakhir itu, tak pernah menulis hal itu dalam surat-surat mereka, dan tak mungkin murid-murid makan daging dan minum darah seperti orang kanibal!
Ada orang berpendapat, “Tetapi Yesus berkata bahwa roti dan anggur adalah tubuh dan darahNya, maka saya percaya apa yang Yesus katakan!”
Yesus juga pernah berkata bahwa Ia adalah pintu (lihat Yohanes 10:9). Apakah Ia benar-benar jadi pintu yang ada engsel dan tombolnya? Yesus pernah berkata bahwa Ia adalah pokok anggur dan kitalah carang-carangnya (lihat Yohanes 15:5). Apakah Yesus benar-benar jadi pokok anggur? Apakah kita benar-benar jadi carang-carang pohon anggur? Yesus pernah berkata bahwa Ia adalah terang dunia dan roti yang turun dari sorga (lihat Yohanes 9:5; 6:41). Apakah Yesus juga sinar matahari dan roti?
Jelas, semua ungkapan di atas adalah gaya bahasa metafora, yakni perbandingan dua hal yang pada dasarnya tidak sama namun memiliki beberapa kemiripan. Dalam hal lain, Yesus bagaikan pintu dan pokok anggur. Pernyataan-pernyatan Yesus pada Perjamuan Terakhir adalah metafora juga. Anggur bagaikan darahNya (dalam beberapa hal). Roti bagaikan tubuhNya (dalam beberapa hal).
Perumpamaan oleh Kristus (Christ’s Parables)
Beberapa perumpamaan dari Kristus memakai gaya bahasa simili, yang sama dengan gaya bahasa metafora, namun simili selalu memakai kata seperti, layaknya atau demikianlah. Simili memberi pelajaran rohani juga dengan membandingkan kemiripan antara dua hal yang sebenarnya tidak sama. Itu yang penting diingat ketika kita menafsirkannya; jika tidak kita bisa keliru mencari arti dalam tiap detil pada tiap perumpamaan. Metafora dan simili selalu mencapai tempat di mana kemiripan berakhir dan ketidakmiripan dimulai. Misalnya, jika saya berkata kepada istri saya, “Matamu bagaikan kolam air”, maksud saya adalah matanya biru, dalam dan menarik. Saya tidak bermaksud, ikan dapat berenang di matanya, burung mendarat di atasnya, dan airnya membeku selama musim dingin.
Coba perhatikan tiga perumpamaan Yesus berikut, semuanya simili, yang pertama perumpamaan tentang Pukat:
“Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan. Setelah penuh, pukat itupun diseret orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar, lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. (Matius 13:47-50).
Apakah kerajaan sorga dan pukat pada dasarnya sama? Sama sekali tidak! Keduanya sangat jauh berbeda, namun ada beberapa kemiripan. Ketika ikan dipilih dan dipisahkan dalam dua kategori, yang dikehendaki dan yang tak dikehendaki, ketika ditarik dari sebuah pukat, maka hal itu bagaikan dalam Kerajaan Allah. Suatu hari orang jahat dan orang benar, yang kini hidup bersama, akan dipisahkan. Tetapi, di situlah tak ada kemiripannya. Ikan berenang; manusia berjalan. Nelayan memisahkan ikan. Malaikat akan memisahkan orang-orang yang jahat dari antara orang-orang yang baik. Ikan dinilai dari sebaik apa citarasanya setelah dimasak. Manusia dinilai sesuai ketaatan atau ketidaktaatannya kepada Tuhan. Ikan yang baik dimasukkan dalam kemasan dan ikan yang tidak baik dibuang. Orang benar akan mewarisi Kerajaan Allah dan orang jahat akan dibuang ke neraka.
Perumpamaan di atas adalah contoh sempurna tentang bagaimana metafora dan simili merupakan perbandingan yang tak sempurna karena hal-hal yang dibandingkan pada dasarnya tidak mirip. Kita tak ingin mengartikan lebih jauh maksud si pembicara, dengan asumsi bahwa ketidakmiripan adalah sebenarnya kemiripan. Misalnya, kita tahu bahwa “ikan yang baik” berakhir jadi masakan, dan “ikan yang buruk” kembali masuk air untuk berenang. Yesus tak menyebutkan hal itu! Ini akan bertentangn dengan maksudNya.
Perumpamaan unik itu tidak mengajarkan (tak peduli kata orang) strategi “penginjilan pukat”, di mana kita coba menjaring tiap orang masuk ke gereja, yang baik dan yang buruk, apakah mereka mau datang atau tidak! Perumpamaan ini tidak mengajarkan bahwa pantai adalah tempat terbaik untuk bersaksi. Perumpamaan ini tidak membuktikan bahwa Pengangkatan Gereja terjadi saat berakhirnya Masa Kesukaran. Perumpamaan ini tidak mengajar bahwa keselamatan kita adalah murni pilihan berdaulat oleh Allah karena ikan pilihan dalam perumpamaan itu tak terkait dengan alasan pemilihannya. Jangan paksakan untuk mencari arti yang tak perlu ke dalam perumpamaan yang Yesus ceritakan!
Tetap Berjaga-Jaga (Remaining Ready)
Berikut ini adalah Perumpamaan Sepuluh Gadis yang Yesus ceritakan:
Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia!. Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya. (Matius 25:1-13).
Apakah pelajaran utama dari perumpamaan di atas? Pelajarannya ada pada kalimat akhir: Berjaga-jagalah untuk kedatangan Tuhan, karena Ia mungkin saja menunda lebih lama dari yang anda harapkan. Itulah pelajarannya.
Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, Yesus berbicara kepada murid-muridNya yang terdekat (lihat Matius 24:3; Markus 13:3), yang taat mengikutiNya saat itu. Jadi, jelaslah arti dari perumpamaan itu, yakni bisa saja Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas tidak berjaga-jaga saat Yesus datang kembali. Karena itu Yesus mengingatkan mereka. Sehingga, perumpamaan itu mengajarkan bahwa mereka yang kini siap menanti kedatangan Kristus bisa saja tidak siap ketika Ia benar-benar datang kembali. Kesepuluh gadis pada awalnya berjaga-jaga, tetapi lima gadis tidak berjaga-jaga. Seandainya mempelai laki-laki kembali lebih segera, maka kesepuluh gadis mungkin saja telah memasuki pintu menuju ruang pesta perkawinan.
Tetapi, apa artinya menjadi lima gadis bodoh dan lima gadis bijak? Apakah hal itu membuktikan hanya setengah jumlah dari orang-orang yang mengaku percaya yang akan berjaga-jaga ketika Kristus kembali? Tidak.
Apakah arti minyak? Apakah minyak melambangkan Roh Kudus? Tidak. Apakah minyak mengungkapkan kepada kita bahwa hanya mereka yang telah dibaptis dengan Roh Kudus akan membuat mereka masuk ke sorga? Tidak.
Apakah kembalinya mempelai laki-laki di tengah malam mengungkapkan bahwa Yesus akan kembali di tengah malam? Tidak.
Mengapa mempelai laki-laki tidak meminta gadis-gadis bijak untuk mengenali kelima gadis bodoh yang ada di depan pintu? Jika mempelai laki-laki meminta gadis-gadis bijak untuk mengenali kelima gadis bodoh, mungkin seluruh maksud dari perumpamaan ini tak tercapai, karena gadis-gadis bodoh akhirnya dapat masuk.
Mungkin ketika gadis-gadis bodoh tak lagi menyalakan lampu dan tertidur, sehingga orang-orang percaya yang bodoh mulai berjalan dalam kegelapan rohani dan rohaninya tertidur, dan akhirnya mereka dihukum. Mungkin hal serupa terjadi saat pesta perkawinan dalam perumpamaan itu dan perkawinan Anak Domba nanti; tetapi begitulah pemahaman orang, tanpa memaksakan arti ke perumpamaan itu atau ke detil-detilnya.
Menghasilkan Buah (Bearing Fruit)
Mungkin tafsiran terjelek yang pernah saya dengar mengenai perumpamaan Kristus adalah penjelasan seorang pengkhotbah tentang Perumpamaan Gandum dan Lalang. Pertama, mari kita baca perumpamaan berikut:
Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu. Maka datanglah hamba-hamba tuan ladang itu kepadanya dan berkata: Tuan, bukankah benih baik, yang tuan taburkan di ladang tuan? Dari manakah lalang itu? Jawab tuan itu: Seorang musuh yang melakukannya. Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu? Tetapi ia berkata: Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku.” (Matius 13:24-30).
Inilah penjelasan si pengkhotbah:
Ternyata, ketika gandum dan lalang mulai berbulir, keduanya kelihatan persis sama. Tak seorangpun dapat mengenali jika keduanya gandum atau lalang. Itulah caranya dalam dunia dan di gereja. Tak seorangpun bisa mengenali siapa orang-orang Kristen sejati dan siapa orang-orang yang tidak percaya. Keduanya tak dapat dikenali dari cara hidup mereka, karena banyak orang Kristen tidak menaati Kristus lebih dari orang-orang yang tidak percaya. Hanya Allah mengetahui hati mereka, dan Ia akan memisahkan mereka pada akhirnya.
Tentunya, penjelasan tersebut bukan maksud dari Perumpamaan Gandum dan Lalang! Ternyata, hal di atas mengajarkan bahwa orang percaya memang sangat berbeda dengan orang yang tak percaya. Perhatikanlah, hamba-hamba menyadari bahwa lalang telah ditanam ketika gandum menghasilkan biji-bijinya (lihat ayat 26). Lalang tak menghasilkan buah, dan itulah cara mudah untuk mengenali lalang. Menurut saya, adalah penting Yesus memilih lalang yang tak berbuah untuk menggambarkan orang-orang jahat yang akhirnya dikumpulkan dan dilemparkan ke neraka.
Hal penting dari perumpamaan itu jelas: Orang yang benar-benar diselamatkan menghasilkan buah; orang yang belum diselamatkan tidak menghasilkan buah. Walaupun Allah tidak menghukum orang jahat namun ketika ia hidup di tengah-tengah orang yang diselamatkan, kelak nanti Ia akan memisahkannya dari orang-orang benar dan melemparnya ke neraka.
Yesus sebenarnya menjelaskan perumpamaan itu, sehingga kita tak perlu mencari artinya di luar penjelasanNya:
Maka Yesuspun meninggalkan orang banyak itu, lalu pulang. Murid-murid-Nya datang dan berkata kepada-Nya: “Jelaskanlah kepada kami perumpamaan tentang lalang di ladang itu.” Ia menjawab, kata-Nya: “Orang yang menaburkan benih baik ialah Anak Manusia; ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan dan lalang anak-anak si jahat. Musuh yang menaburkan benih lalang ialah Iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu malaikat. Maka seperti lalang itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian juga pada akhir zaman. Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan dari dalam Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar! (Matius 13:36-43).
Gaya Bahasa Hiperbola (Hyperbole)
Gaya bahasa yang lazim ditemukan dalam Alkitab adalah hiperbola. Hiperbola adalah pengungkapan yang dilebih-lebihkan yang sengaja dibuat untuk memberi penekanan. Ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Ibu panggil kamu seribu kali untuk pulang makan malam”, ini adalah kalimat bergaya bahasa hiperbola. Contoh gaya bahasa hiperbola dalam Alkitab adalah kalimat Yesus tentang pemenggalan tangan kanan:
Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. (Matius 5:30).
Jika Yesus berkata dengan arti sebenarnya berarti setiap kita yang berbuat dosa dengan memakai tangan kanan harus memenggal tangan itu, maka kita semua pasti kehilangan tangan kanan! Sudah tentu, masalah dengan dosa tidak pada tangan kita. Mungkin, Yesus mengajar bahwa dosa dapat membawa kita ke neraka, dan cara menghindari dosa adalah melenyapkan cobaan dan hal-hal yang membuat kita tersandung.
Gaya Bahasa Antropomorfisme (Anthropomorphism)
Gaya bahasa ketiga dalam Alkitab adalah antropomorfism, ungkapan sifat-sifat manusia yang dikenakan kepada Allah agar kita dapat memahamiNya. Misalnya, Kejadian 11:5:
Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu. (Kejadian 11:5).
Mungkin inilah antropomorfisme karena tak mungkin Allah yang maha-tahu benar-benar bebergian dari sorga dan turun ke Babel untuk menyelidiki orang-orang yang sedang membangun menara!
Banyak sarjana Alkitab menganggap setiap pernyataan Alkitab yang menggambarkan bagian-bagian tubuh Allah, seperti lengan, tangan, hidung, mata dan rambut, sebagai antropomorfisme. Sudah tentu, kata mereka, Allah yang maha-kuasa tidak sebenarnya memiliki anggota-anggota tubuh seperti yang dikatakan oleh manusia. Tetapi, saya tidak setuju karena beberapa alasan. Pertama, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa kita telah diciptakan dalam gambar dan rupa Allah:
Berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Kejadian 1:26, tambahkan penekanan).
Sebagian orang berkata bahwa manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah hanya dalam arti bahwa manusia memiliki kesadaran-diri, tanggung-jawab moral, kemampuan untuk menalar dan lain-lain. Tetapi, ada pernyataan yang sangat mirip dengan Kejadian 1:26, hal yang terdapat pada beberapa pasal kemudian:
Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya. (Kejadian 5:3, tambahkan penekanan).
Jadi, penampakan fisik Set mirip dengan ayahnya. Jika itu maksud Kejadian 5:3, sudah tentu ungkapan yang persis sama berarti hal yang sama dalam Kejadian 1:26. Akal sehat dan penafsiran yang jelas berkata bahwa hal itu benar.
Juga, kita punya beberapa gambaran tentang Allah melalui para penulis Alkitab yang melihatNya. Misalnya, Musa, bersama tujuh-puluh tiga orang Israel, melihat Allah:
Dan naiklah Musa dengan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel. Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum. (Keluaran 24:9-11).
Bila anda bertanya kepada Musa apakah Allah memiliki tangan dan kaki, apa yang mungkin dikatakannya?
[2]
Nabi Daniel juga mendapatkan visi dari Allah Bapa dan Allah Anak:
Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya [Allah Bapa]; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar; suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya; seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya. Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab. ….. Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia [ Allah Anak]; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. (Daniel 7:9-10, 13-14).
Jika ditanyakan kepada Daniel, apakah Allah memiliki rambut putih dan memiliki bentuk yang membuatNya sanggup duduk di tahta, apa yang mungkin dikatakanNya?
Dengan demikian, saya yakin bahwa Allah Bapa memiliki bentuk yang mengagumkan yang mirip dengan bentuk seorang manusia, walaupun Ia tak berasal dari daging dan darah, namun roh (lihat Yohanes 4:24).
Bagaimana dapat membedakan bagian Alkitab yang harus ditafsirkan dalam arti sebenarnya dan bagian yang harus ditafsirkan secara kiasan/simbolis? Hal itu mudah dilakukan bagi siapapun yang berpikir secara logis. Tafsirkan segala sesuatu apa adanya jika tak tidak ada alternatif lain daripada menafsirkan yang tertulis secara kiasan/simbolis. Misalnya, para nabi Perjanjian Lama dan kitab Wahyu penuh simbolisme, sebagian dijelaskan, sebagian tak dijelaskan. Tetapi simbolisme tak sulit dikenali.
Aturan #2: Bacalah berdasarkan konteks. Setiap perikop harus ditafsirkan dengan memperhatikan perikop-perikop di sekitarnya dan keseluruhan Alkitab. Konteks sejarah dan budaya harus juga diperhatikan sedapat mungkin.
Membaca Alkitab tanpa mempertimbangkan konteks langsung dan konteks Alkitabiah mungkin jadi penyebab kesalahan penafsiran.
Mungkin saja kita mau agar Alkitab berkata sesuatu yang kita inginkan dengan cara mengisolasi ayat-ayat Alkitab dari konteksnya. Misalnya, apakah anda tahu bahwa Alkitab berkata bahwa Allah tidak ada? Dalam Mazmur 14 kita baca, “Tidak ada Allah ” (Mazmur 14:1). Tetapi, jika kata-kata itu ditafsirkan dengan tepat, kita harus membacanya dalam konteksnya: “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah.” (Mazmur 14:1, tambahkan penekanan). Kini, ayat itu muncul dengan arti yang berbeda!
Contoh lain: Saya pernah dengar ada pengkhotbah yang menyatakan agar orang-orang Kristen perlu “dibaptis dengan api.” Ia mulai berkhotbah dengan membaca kata-kata Yohanes Pembaptis dalam Matius 3:11: “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.”
Berdasarkan ayat itu, ia mengembangkan khotbahnya. Saya ingat ia berkata, “Tidaklah cukup bila kalian dibaptis dengan Roh Kudus! Yesus juga ingin membaptiskan kalian dengan api, seperti yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis!” Selanjutnya ia jelaskan bahwa saat kita telah “dibaptis dengan api”, kita mendapat semangat untuk bekerja bagi Tuhan. Akhirnya ia mengajak maju orang-orang yang ingin “dibaptiskan dengan api.”
Sayangnya, pengkhotbah itu melakukan kekeliruan klasik dengan membuat ayat Alkitab keluar dari konteksnya.
Apa maksud Yohanes Pembaptis ketika ia berkata bahwa Yesus akan membaptis dengan api? Untuk mencari jawaban, kita perlu baca dua ayat sebelum ayat itu, dan satu ayat setelah ayat itu. Kita mulai dengan dua ayat sebelumnya. Yohanes berkata:
Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (Matius 3:9-10, tambahkan penekanan).
Pertama, kita pelajari bahwa hari itu sebagian pengikut Yohanes adalah orang-orang Yahudi yang menganggap keselamatan mereka berdasarkan garis keturunannya. Jadi, khotbah Yohanes bersifat penginjilan.
Kita juga pelajari, Yohanes mengingatkan bahwa orang yang belum selamat beresiko akan dibuang ke dalam api. Tampaknya kita dapat berkesimpulan bahwa “api” yang disebut di ayat 10 adalah api yang sama di ayat 11.
Fakta itu menjadi lebih jelas ketika dalam ayat 12:
Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (Matius 3:12, tambahkan penekanan).
Pada ayat 10 dan ayat 12, api yang disebut oleh Yohanes adalah api neraka. Pada ayat 12, ia secara kiasan menyatakan bahwa Yesus akan membagi orang-orang menjadi dua kelompok, yakni kelompok gandum, yang Ia akan “kumpulkan ke dalam lumbung”, dan kelompok debu jerami, yang akan dibakarNya “dalam api yang tidak terpadamkan.”
Dengan melihat ayat-ayat sekitarnya, maksud Yohanes pada ayat 11 adalah Yesus akan membaptiskan orang-orang apakah dalam Roh Kudus jika mereka orang-orang percaya, atau dengan api jika mereka orang-orang tak percaya. Karena itu masalahnya, maka kita tak perlu berkhotbah kepada orang-orang Kristen agar mereka dibaptis dengan api!
Dengan keluar dari konteks ayat-ayat ini, kita harus juga perhatikan bagian lain dalam Perjanjian Baru. Bisakah kita memperoleh contoh dalam Kisah Para Rasul di mana orang-orang Kristen konon “dibaptis dengan api”? Tidak. Yang terdekat adalah gambaran Lukas mengenai hari Pentakosta ketika murid-murid dibaptis dengan Roh Kudus dan lidah-lidah api yang sewaktu-waktu muncul di atas kepala mereka. Tetapi Lukas tak pernah berkata bahwa inilah “baptisan dengan api.” Dan, adakah teguran atau perintah dalam suratan-suratan kepada orang-orang Kristen untuk “dibaptis dengan api”? Tidak. Karena itu, cukup kita simpulkan bahwa orang Kristen tak perlu mencari baptisan dengan api.
Injil Sesat yang Berasal Dari Alkitab (A False Gospel Derived From the Scripture)
Karena para pengkhotbah dan guru tak memperhatikan konteks, mereka sering salah menyampaikan Injil itu sendiri; mereka salah menafsirkan Alkitab. Karena itu, berkembanglah ajaran sesat mengenai kasih karunia Allah.
Misalnya, pernyataan Paulus tentang keselamatan sebagai hasil kasih karunia dan bukan hasil pekerjaan, dalam Efesus 2:8, telah disalahgunakan untuk mendukung injil sesat, karena konteks diabaikan. Paulus menuliskan:
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. (Efesus 2:8-9).
Banyak orang terfokus khusus pada pernyataan Paulus tentang keselamatan oleh kasih karunia, yakni pemberian, dan bukan hasil usaha. Berbeda dengan kesaksian ratusan ayat Alkitab, banyak orang berkata bahwa tak ada hubungan antara keselamatan dan kesucian. Maka, sebagian orang berkata bahwa pertobatan tak perlu dilakukan demi keselamatan. Ini contoh klasik bagaimana Alkitab disalahtafsirkan karena konteksnya diabaikan.
Pertama, perhatikan apa yang dikatakan dalam keseluruhannya oleh perikop yang tengah dibahas. Paulus tidak berkata bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia, tetapi kita diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Iman adalah sebagian dari persamaan keselamatan yang setara dengan kasih karunia. Alkitab berkata bahwa iman tanpa perbuatan adalah tak berguna, mati, dan tak dapat menyelamatkan (lihat Yakobus 2:14-26). Jadi, Paulus tidak mengajarkan bahwa kesucian tidak relevan dalam keselamatan. Ia berkata bahwa hasil usaha kita bukan hal yang menyelamatkan kita; dasar keselamatan kita adalah kasih karunia Allah. Kita tak pernah diselamatkan tanpa kasih karunia Allah, tetapi jika kita merespon kasih karunia Allah dengan iman, keselamatan sebenarnya terjadi dalam kehidupan kita. Hasil keselamatan adalah ketaatan, buah dari iman yang sungguh-sungguh. Dengan memperhatikan konteks tidak lebih dari ayat berikutnya, maka hal itu sudah didukung dengan bukti. Paulus katakan:
Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalam nya. (Efesus 2:10).
Alasan Roh Kudus memulihkan kita, dan kita jadi ciptaan baru dalam Kristus, adalah karena kita dapat berjalan dengan pekerjaan baik dalam ketaatan. Jadi, persamaan keselamatan oleh Paulus kelihatan seperti berikut ini:
Kasih Karunia + Iman = Keselamatan + Ketaatan
Jadi, kasih karunia ditambah iman sama dengan (atau menghasilkan) keselamatan ditambah ketaatan. Ketika kasih karunia Allah ditanggapi dengan iman, hasilnya selalu adalah keselamatan dan pekerjaan yang baik.
Namun mereka yang memelintir perkataan Paulus dari konteksnya membuat rumusan:
Kasih karunia + Iman – Ketaatan = Keselamatan
Jadi, kasih karunia ditambah iman tanpa (atau minus) ketaatan sama dengan (atau menghasilkan) keselamatan. Menurut Alkitab, rumusan ini adalah sesat.
Bila kita lebih membaca konteks perkataan Paulus, kita juga temukan bahwa situasi di Efesus sama dengan situasi di manapun Paulus berkhotbah. Yakni, orang-orang Yahudi mengajari para petobat baru yang bukan orang Yahudi di zaman Paulus sehingga mereka harus disunat dan menaati beberapa aspek seremonial Hukum Taurat Musa jika mereka ingin diselamatkan. Dalam konteks sunat dan pekerjaan seremonial, Paulus ingat ketika ia menulis tentang pekerjaan-pekerjaan yang tak menyelamatkan kita (lihat Efesus 2:11-22).
Jika kita baca lebih lanjut, dengan lebih memahami konteks surat Paulus kepada jemaat Efesus, jelas terlihat bahwa Paulus percaya kesucian adalah hal penting bagi keselamatan:
Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono–karena hal-hal ini tidak pantas–tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur. Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. (Efesus 5:3-6, tambahkan penekanan).
Jika Paulus percaya bahwa kasih karunia Allah akhirnya menyelamatkan orang yang sundal, cemar atau serakah, ia takkan pernah menuliskan kata-kata ini. Pengertian yang dimaksudkan oleh Paulus dari kata-katanya dalam Efesus 2:8-9 hanya dapat dipahami dengan benar dalam konteks seluruh suratnya kepada jemaat Efesus.
Kegagalan Total Jemaat Galatia (The Galatian Fiasco)
Demikian juga, kata-kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia ditafsirkan keluar dari konteksnya. Hasilnya menyebabkan penyimpangan Injil, hal yang ingin dikoreksi oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia.
Tema keseluruhan surat Paulus kepada jemaat di Galatia adalah “Keselamatan dengan iman, dan bukan dengan pekerjaan Hukum Taurat.” Tetapi, apakah maksud Paulus agar pembacanya berkesimpulan bahwa kesucian tak diperlukan untuk masuk dalam Kerajaan Allah? Tentu tidak.
Pertama, perlu dicatat bahwa Paulus sekali lagi menyerang orang-orang Yahudi yang datang ke Galatia dan mengajar para petobat baru bahwa mereka tak dapat selamat jika tidak disunat dan menaati Hukum Taurat Musa. Paulus berkali-kali menyebut masalah tentang sunat dalam suratnya, karena sepertinya itu jadi penekanan utama para ahli peraturan Yahudi (lihat Galatia 2:3, 7-9, 12; 5:2-3, 6, 11; 6:12-13, 15). Paulus tak peduli dengan jemaat di Galatia yang terlalu taat pada perintah-perintah Kristus; ia peduli kepada mereka yang tak lagi beriman dalam Kristus untuk keselamatan mereka, tetapi dalam sunat dan dalam tiap upaya mereka yang tidak penting dalam mematuhi Hukum Taurat Musa.
Ketika kita perhatikan keseluruhan konteks surat Paulus kepada jemaat di Galatia, ia menulis pada pasal 5:
Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu–seperti yang telah kubuat dahulu–bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (Galatia 5:18-21, tambahkan penekanan).
Jika Paulus ingin menyampaikan kepada jemaat di Galatia bahwa mereka mungkin saja tidak suci dan tidak masuk ke sorga, maka tak mungkin ia menulis kata-kata itu. Pesannya bukanlah agar orang-orang yang tidak suci dapat masuk ke sorga, tetapi mereka tak dapat diselamatkan, yakni mereka yang tak peduli kasih karunia Allah dan pengorbanan Kristus dengan coba mendapatkan keselamatannya melalui sunat dan Hukum Taurat Musa. Bukan sunat, tetapi iman kepada Yesus, yang membawa keselamatan yang mengubah setiap orang percaya menjadi ciptaan baru yang suci:
Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya. (Galatia 6:15).
Jadi, betapa penting kita memahami konteks ketika menafsirkan Alkitab. Cara Injil bisa disalahartikan melalui Firman Tuhan adalah pengabaian konteks. Kita bisa terheran-heran dengan hati “para pelayan” yang membuat tafsiran secara gamblang sehingga hal itu harus dilakukan tanpa tergesa-gesa.
Misalnya, saya pernah mendengar ada pengkhotbah yang berkata bahwa kita tak boleh menyebut murka Allah ketika mengabarkan Injil, karena Alkitab berkata, “kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan” (Roma 2:4). Menurutnya, cara benar untuk menyampaikan Injil adalah hanya membicarakan kasih dan kebaikan Allah. Tampaknya, cara itu akan membawa orang-orang untuk bertobat.
Tetapi ketika kita baca konteks ayat yang dikutip oleh pengkhotbah itu dari Roma pasal kedua, ternyata ayat-ayat Alkitab menyebutkan hal tentang penghakiman dan kemarahan suci Allah! Konteks langsung mengungkapkan bahwa tidak mungkin arti yang Paulus maksudkan adalah perkataan si pengkhotbah tadi:
Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah ? Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan? Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan. Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani, (Roma 2:2-9, tambahkan penekanan).
Acuan Paulus kepada kebaikan Allah adalah kebaikan yang Allah tunjukkan saat Ia menunda kemarahan! Dan orang heran bagaimana pendeta dapat memperjelas pernyataan yang janggal menjadi konteks yang lebih besar dari Alkitab, yang di dalamnya ada banyak contoh dari pengkhotbah yang mengingatkan orang-orang berdosa untuk bertobat.
Konsistensi Alkitab (Scripture’s Consistency)
Karena ilham dari satu Pribadi, pesan Alkitab seluruhnya konsisten. Maka itu kita bisa meyakini konteks untuk membantu menafsirkan arti yang Allah maksudkan pada perikop tertentu. Allah tidak berkata sesuatu dalam satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain, dan bila tampak Allah berkata sesuatu, kita terus belajar sampai penafsiran kedua ayat tadi menjadi selaras. Misalnya, dalam Khotbah di Atas Bukit, bisa saja awalnya Yesus agak membuat kontradiksi, bahkan mengoreksi, hukum moral dalam Perjanjian Lama. Misalnya:
Kamu telah mendengar firman: “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.” Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. (Matius 5:38-39).
Yesus mengutip langung dari Hukum Taurat Musa, lalu membuat pernyataan yang tampak bertentangan dengan Hukum itu. Bagaimana kita menafsirkan perkataanNya? Apakah Allah telah merubah pikiranNya terhadap masalah moralitas mendasar? Apakah balas dendam adalah perilaku yang bisa diterima di masa perjanjian lama, bukan di masa perjanjian baru? Konteksnya akan mendukung.
Yesus khusus berbicara kepada murid-muridNya (lihat Matius 5:1-2), orang-orang yang sebelumnya mendapat pengetahuan Firman Tuhan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mengajar di sinagoga-sinagoga. Di sinagoga, murid-murid mendengarkan Hukum Taurat yang menyebutkan, “Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi”; ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah membelokkan arti perintah itu dengan mengabaikan konteksnya. Allah tidak ingin perintah itu ditafsirkan sebagai syarat bagi umatNya untuk selalu melakukan pembalasan pribadi untuk hal-hal kecil. Tenyata, Ia berkata dalam Hukum Taurat Musa bahwa pembalasan adalah hak Tuhan (lihat Ulangan 32:35), dan umatNya harus berbuat baik kepada musuh mereka (lihat Keluaran 23:4-5). Namun ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengabaikan perintah-perintah itu dan menafsirkan sendiri tentang hukum Allah tentang “mata ganti mata”, yakni hukum yang memberi mereka hak balas dendam pribadi.
[3]
Mereka mengabaikan konteks.
Perintah Allah tentang “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” terdapat dalam konteks perintah-perintahNya yang membuat keadilan di pengadilan Israel (lihat Keluaran 21:22-24; Ulangan 19:15-21). Membuat aturan untuk sistem pengadilan itu adalah pewahyuan tentang ketidaksetujuan Allah akan balas dendam pribadi. Hakim-hakim yang netral, yang memeriksa bukti, jauh lebih mampu mengadili dibandingkan orang-orang yang tersudut dan tertuduh. Allah berharap agar pengadilan dan para hakim bersikap netral dalam menjatuhkan hukuman sesuai kejahatan. Sehingga “mata ganti mata dan gigi ganti gigi.”
Dengan demikian, kita dapat selaraskan hal yang kontradiktif. Yesus membantu para pengikutNya, yakni orang-orang yang mendengarkan ajaran sesat sepanjang hidupnya, untuk memahami kehendak Allah bagi mereka dalam hal balas dendam pribadi, yang disebut dalam Hukum Taurat Musa, namun artinya telah dibelokkan oleh orang-orang Farisi. Yesus tidak membuat kontradiksi dengan Hukum Taurat yang diberikanNya kepada Musa. Ia hanya mengungkapkan pengertian aslinya.
Hal itu juga membuat kita memahami kehendak Yesus bagi kita terkait dengan perselisihan, yang bisa saja dibawa ke pengadilan. Allah tidak mengharapkan bangsa Israel untuk mengabaikan apapun pelanggaran yang diderita oleh sesama orang Israel, jika tidak Ia tak mungkin membuat sistem peradilan. Demikian juga, Allah tidak ingin orang-orang Kristen mengabaikan apapun pelanggaran yang diderita oleh sesama orang percaya (atau orang-orang yang tidak percaya). Perjanjian Baru mensyaratkan orang Kristen yang masih berseteru untuk tak memerlukan mediasi dari sesama orang percaya (lihat 1 Korintus 6:1-6). Dan bisa saja orang Kristen memanggil orang tak percaya ke pengadilan sekuler terkait dengan perselisihan atas kejahatan besar. Kejahatan besar termasuk memukul mata atau gigi! Kejahatan kecil adalah hal-hal yang Yesus sebutkan, seperti menampar pipi, atau tuntutan penyelesaian masalah kecil (seperti baju anda), atau dipaksa berjalan sejauh satu mil. Allah ingin umatNya untuk meniruNya dan menunjukkan kasih karunia yang luar-biasa kepada orang berdosa dan orang jahat yang tak punya akal sehat.
Dengan ungkapan di atas, ada orang percaya yang bermaksud baik yang, dengan asumsi bahwa dia taat kepada Yesus, menolak memberi tekanan hukum untuk menghadapi orang yang kedapatan mencuri dari mereka. Mereka anggap orang percaya itu sedang “memberikan pipi lain”, ketika ternyata orang percaya itu memberi kesempatan si pencuri untuk mencuri lagi, sehingga si pencuri mengetahui tak ada konsekwensi bagi kejahatan. Orang Kristen demikian tidak berjalan dalam kasih terhadap orang lain, sehingga akan membiarkan barangnya dicuri oleh pencuri yang sama! Allah ingin pencuri untuk menanggung kejahatannya melalui pengadilan dan pertobatan. Namun ketika seseorang menyerang anda dengan kejahatan kecil, seperti menampar pipi, jangan tuntut dia ke pengadilan atau berbalik menamparnya. Tunjukkan belas-kasihan dan kasih kepadanya.
Penafsiran Perjanjian Lama dengan Memperhatikan Perjanjian Baru (Interpreting the Old in Light of the New)
Tafsirkanlah ayat-ayat dalam Perjanjian Baru dengan memperhatikan Perjanjian Lama, dan juga tafsirkanlah ayat-ayat dalam Perjanjian Lama dengan memperhatikan Perjanjian Baru. Misalnya, sejumlah orang percaya yang tulus hati telah membaca peraturan tentang makanan dari Musa, dan menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen harus membatasi makanan sesuai peraturan itu. Tetapi, jika mereka baca dua perikop dalam Perjanjian Baru, maka akan ditemukan bahwa peraturan tentang makanan dari Musa tidak berlaku bagi mereka yang dalam Perjanjian Baru:
Maka jawab-Nya [Yesus]: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. (Markus 7:18-19)
Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh Firman Allah dan oleh doa. (1 Timotius 4:1-5).
Dalam perjanjian baru, kita tidak tunduk pada Hukum Taurat Musa, tetapi kepada Hukum Kristus (lihat 1 Korintus 9:20-21). Walaupun Yesus mendukung aspek-aspek moral Hukum Taurat Musa (sehingga memasukkan aspek-aspek itu ke dalam Hukum Kristus), baik Yesus dan para rasul tidak mengajarkan orang-orang Kristen untuk wajib menaati peraturan tentang makanan di zaman Musa.
Tetapi, jelas orang-orang Kristen mula-mula membuat orang-orang Yahudi bertobat, yang menaati aturan tentang makanan di zaman pejanjian lama oleh karena ketetapan budaya mereka (lihat Kisah Para Rasul 10:9-14). Dan ketika orang-orang bukan Yahudi mulai percaya kepada Yesus, orang-orang Kristen Yahudi mula-mula meminta mereka mengikuti secara terbatas aturan tentang makanan dari zaman Musa, murni untuk menghormati tetangga mereka orang-orang Yahudi yang mungkin saja merasa tersinggung (lihat Kisah Para Rasul 15:1-21). Dengan demikian, tak ada salahnya orang-orang Kristen yang mengikuti raturan tentang makanan di zaman Musa selama mereka tidak percaya bahwa menaati aturan itu bukanlah hal yang menyelamatkan mereka.
Sebagian orang Kristen mula-mula juga yakin bahwa memakan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala adalah keliru. Paulus mengajarkan orang-orang percaya yang berpikir (seperti dirinya) untuk berjalan dalam kasih kepada saudara-saudara mereka yang “lemah iman” (lihat Roma 14:1), dan tak melakukan hal yang membuat mereka mengingkari kata-hatinya. Jika ada orang berpantang makanan sebagai keyakinannya di hadapan Allah (meskipun keyakinan itu tak berdasar), hormati dia atas pengabdiannya, bukan mengecamnya karena kesalah-pahamannya. Demikian juga, orang yang berpantang makanan tertentu, sebagai keyakinan pribadinya, tak akan mengecam orang yang tidak berpantang. Kedua kelompok orang itu harus berjalan bersama dalam kasih, karena sudah tentu Allah memerintahkan hal itu (lihat Roma 14:1-23).
Dalam hal apapun, karena Alkitab merupakan pewahyuan yang terus berlaku, kita harus selalu menafsirkan pewahyuan lama (Perjanjian Lama) dengan terang pewahyuan baru (Perjanjian Baru). Tak satupun pewahyuan yang Allah pernah berikan itu bertentangan; pewahyuan selalu melengkapi.
Konteks Budaya dan Sejarah (Cultural and Historical Context)
Jika mungkin, perhatikan juga konteks budaya dan sejarah dari perikop-perikop Alkitab yang kita pelajari. Dengan mengetahui aspek-aspek unik tentang budaya, geografi dan sejarah dari satu latar-belakang Alkitab, maka kita mendapat dukungan untuk memperoleh pandangan yang mungkin telah hilang dari kita. Tentu, kita perlukan buku-buku penunjang selain Alkitab. Pelajaran Alkitab yang baik dapat mendukung kita di bidang tersebut.
Beberapa contoh tentang bagaimana informasi sejarah atau budaya dapat membingungkan kita ketika membaca Alkitab:
1). Kita terkadang membaca dalam Alkitab tentang orang-orang yang menaiki atap rumah (lihat Kisah Para Rasul 10:9) atau turun melalui atap (lihat Markus 2:4). Kita jadi tahu bahwa pada masa Alkitab, atap rumah di Israel umumnya datar, dan sudah ada anak tangga di bagian luar rumah yang menuju ke atap itu. Bila kita tak tahu hal itu, maka kita terbayang ada tokoh dalam Alkitab berjalan-jalan di atap dan memegangi cerobong rumah!
2). Kita baca Markus 11:12-14 bahwa Yesus mengutuki pohon ara karena pohon itu tak berbuah, meskipun “saat itu bukan musim berbuah ara.” Kita jadi tahu bahwa pohon ara biasanya berbuah bahkan saat bukan musim berbuah ara, sehingga Yesus tetap konsisten dalam perkataanNya.
3). Kita baca dalam Lukas 7:37-48 tentang wanita yang memasuki rumah seorang Farisi di mana Yesus sedang makan. Alkitab berkata bahwa ketika wanita itu berdiri di belakang Yesus, sambil menangis, ia mulai membasahi kakiNya dengan air matanya, menyeka kakiNya dengan rambutnya, dan mencium dan mengurapi kakiNya dengan minyak wangi. Kita heran bagaimana itu dapat dilakukan ketika Yesus duduk di meja sambil makan. Apakah wanita itu merangkak di bawah meja? Bagaimana ia sanggup menembus kaki-kaki orang-orang yang sedang makan?
Jawabannya ada dalam pernyataan Lukas bahwa Yesus sedang “bersandar ke meja” (Lukas 7:37). Di masa itu, orang-orang terbiasa makan dengan bersandar pada sisi tubuh di lantai di sekeliling meja rendah, menyandarkan diri pada satu lengan dan menyuap mulut dengan lengan dan tangan lain. Dalam posisi tubuh itu, Yesus dimuliakan oleh wanita itu.
Hal itu juga membuat kita mengerti bagaimana Yohanes dapat bersandar ke dada Yesus pada saat Perjamuan Tuhan untuk bertanya kepadaNya. Yohanes berbaring pada satu sisi dengan membelakangi Yesus, dan ia bersandar ke dada Yesus untuk bertanya secara tak langsung (lihat Yohanes 13:23-25). Lukisan terkenal dari DaVinci tentang Perjamuan Terakhir, yang menunjukkan Yesus duduk di meja dengan enam murid di sisi kiri dan enam murid di sisi kanan; sang pelukis lalai membuat lukisan itu tanpa mendasarkan pada Alkitab. Da Vinci perlu tahu konteks sejarah!
Pertanyaan Umum tentang Pakaian (A Common Question tentang Clothes)
Saya sering mendapat pertanyaan dari pendeta-pendeta di seluruh dunia, yakni: “Apakah bisa diterima bila wanita Kristen memakai celana panjang, bila dilihat bahwa Alkitab melarang wanita memakai pakaian pria?”
Pertanyaan yang baik untuk dijawab dengan menerapkan aturan penafsiran yang jelas dan melalui konteks budaya.
Pertama, kita periksa larangan dalam Alkitab bagi wanita yang memakai pakaian pria (dan sebaliknya):
“Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. (Ulangan 22:5).
Kita harus bertanya, “Apa maksud Allah memberikan perintah ini? ”Apa maksudNya membuat wanita tidak boleh memakai celana panjang?
Tidak, bukan itulah maksudNya, karena tak ada pria di Israel memakai celana panjang ketika Allah dulunya mengatakan hal tersebut. Celana panjang tidak dianggap sebagai pakaian pria atau pakaian siapapun. Kenyataannya, pakaian pria pada masa Alkitab tampak lebih mirip pakaian wanita sekarang ini! Itulah sedikit informasi sejarah dan budaya yang mendukung kita dalam menafsirkan dengan benar apa yang hendak Allah katakan.
Jadi apa yang dulu menjadi maksud Allah?
Kita baca bahwa siapapun yang memakai pakaian yang dipakai oleh lawan jenisnya merupakan kekejian bagi Tuhan. Tampaknya hal itu sangat serius. Jika seseorang memakai selendang wanita dan menaruhnya di kepalanya selama tiga detik, apakah tindakan itu menjadi kekejian bagi Tuhan? Iini tampak meragukan.
Agaknya, Tuhan menentang orang yang sengaja berpakaian sehingga ia tampak sama dengan lawan jenisnya. Mengapa ada orang mau melakukan hal itu? Hanya karena ia ingin menggoda lawan jenisnya, yakni penyimpangan seks yang disebut transvestitisme. Saya kira, kita bisa paham bagaimana hal itu dianggap kekejian bagi Tuhan.
Jadi, tak bisa langsung disimpulkan bahwa memakai celana panjang bagi wanita adalah keliru, sesuai Ulangan 22:5, jika ia tidak melakukan hal itu sebagai penyimpangan seksual. Selama ia masih kelihatan sebagai wanita, ia tak berdosa dengan memakai celana panjang.
Sudah tentu, Alkitab mengajarkan agar wanita berpakaian sopan (lihat 1 Timotius 2:9), dan ia tidak layak memakai celana panjang ketat dan memunculkan lekuk tubuh (seperti juga baju atas dan rok ketat) karena pakaian demikian dapat merangsang pria. Banyak pakaian yang dipakai oleh wanita di negara-negara Barat sangat tak layak dan menjadi pakaian yang dipakai oleh wanita tuna susila di negara-negara berkembang. Wanita Kristen tak boleh memakai pakaian di depan umum dengan maksud untuk tampil “seksi.”
Beberapa Pemikiran Lain (A Few Other Thoughts)
Menariknya, saya tak pernah mendapat pertanyaan dari pendeta-pendeta di China tentang wanita yang memakai celana panjang. Mungkin karena sebagian besar wanita di China sudah lama memakai celana panjang. Saya ditanyai mengenai wanita dan celana panjang oleh para pendeta yang melayani di negara-negara di mana kebanyakan orang tidak memakai celana panjang. Ini menunjukkan prasangka budaya yang sifatnya pribadi.
Juga ada hal menarik. Saya tak pernah mendapat pertanyaan serupa oleh pelayan wanita di Myanmar, tempat di mana pria memakai rok tradisional, yang disebut longgi. Lagi-lagi, pakaian wanita dan pakaian pria bervariasi dari satu budaya ke budaya lain, sehingga kita harus hati-hati agar tidak memaksakan pemahaman budaya kita pada Alkitab.
Saya heran mengapa begitu banyak pria, yang berharap wanita untuk tidak memakai celana panjang berdasarkan Ulangan 22:5, merasa tidak wajib menerapkan Imamat 19:27 bagi diri mereka. Mereka berkata,
Janganlah kamu mencukur tepi rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau merusakkan tepi janggutmu. (Imamat 19:27).
Dengan mengabaikan Imamat 19:27, bagaimana bisa pria mencukur janggut pemberian Tuhan, sebagai ciri perbedaan pria dari wanita, lalu pria menuduh wanita yang bercelana panjang sebagai mencoba tampil seperti pria? Pendapat itu tampak agak munafik!
Di lain pihak, informasi sejarah membuat kita lebih mengerti maksud Tuhan dalam Imamat 19:27. Mencukur tepi rambut kepala berkeliling adalah bagian dari ritual agama penyembah berhala. Allah tak ingin umatNya tampak seperti menyembah patung berhala.
Siapa yang Berbicara (Who is Speaking?)
Kita harus selalu paham siapa yang berbicara dalam satu perikop tertentu, karena informasi kontekstual akan membantu kita dengan benar dalam menafsirkan perikop itu. Walaupun segala sesuatu dalam Alkitab diilhamkan untuk ada dalam Alkitab, bukan segala sesuatu dalam Alkitab adalah Firman Tuhan yang diilhami. Apa maksudnya?
Banyak perikop Alkitab mencatat perkataan orang yang tidak diilhami. Karena itu, kita tak boleh beranggapan bahwa segala sesuatu yang diucapkan oleh orang-orang dalam Alkitab diilhami oleh Allah.
Misalnya, beberapa kesalahan pengutipan kata-kata Ayub dan teman-temannya seolah-olah kata-kata tersebut diilhami Allah. Ada dua alasan mengapa ini keliru. Pertama, dalam tigapuluh-empat pasal, Ayub dan teman-temannya berdebat. Mereka tak mencapai kesepakatan. Jelaslah, bukan segala sesuatu yang mereka katakan merupakan Firman Tuhan yang diilhamkan karena Allah Sendiri tidak membuat pertentangan.
Kedua, pada penutup kitab Ayub, Allah Sendiri berbicara, dan Ia menghardik Ayub dan teman-temannya karena mengatakan hal-hal yang tidak benar (lihat Ayub 38-42).
Kita harus melakukan langkah pencegahan yang sama ketika membaca Perjanjian Baru. Dalam beberapa hal, Paulus tegas menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari tulisannya hanyalah pendapatnya sendiri (lihat 1 Korintus 7:12, 25-26, 40).
Siapa yang Dituju? (Who is Being Addressed?)
Kita bertanya siapa yang berbicara dalam satu perikop Alkitab, dan juga catat siapa yang dituju. Bila kita tak melakukannya, bisa saja kita tafsirkan bahwa sesuatu tak berlaku bagi kita, yang ternyata berlaku bagi kita. Atau, kita tafsirkan sesuatu yang berlaku bagi kita yang sebenarnya tak berlaku bagi kita.
Misalnya, ada orang menuntut janji yang terdapat dalam Mazmur 37, dengan meyakini bahwa ayat itu berlaku padanya:
Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (Mazmur 37:4).
Tetapi, apakah janji itu berlaku bagi setiap orang yang membaca atau mengetahui ayat itu? Tidak, jika kita baca konteksnya, ternyata ayat itu hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang memenuhi lima syarat:
Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (Mazmur 37:3-4).
Jadi, betapa penting sekali kita mengetahui kepada siapa sesuatu ditujukan.
Contoh lain adalah:
Berkatalah Petrus kepada Yesus: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!” Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Markus 10:28-30).
Ungkapan “menerima kembali seratus kali lipat” sangat populer di beberapa kalangan ketika seseorang memberi uang untuk membantu seorang penginjil. Tetapi, apakah janji itu berlaku bagi orang-orang tersebut? Tidak, hal itu ditujukan kepada orang-orang yang sebenarnya meninggalkan keluarga, ladang pertanian, atau rumah untuk mengabarkan Injil, seperti yang dilakukan oleh Petrus, yang bertanya kepada Yesus apa kira-kira upah yang didapatkan olehnya dan murid-murid lainnya.
Hal yang menarik, tampaknya orang yang selalu berkhotbah tentang pengembalian seratus kali lipat tampaknya terokusk pada rumah dan ladang, dan bukan pada anak-anak dan penganiayaan yang juga dijanjikan kepada mereka! Sudah tentu, Yesus tidak menjanjikan bahwa barangsiapa yang meninggalkan rumahnya akan mendapat ganti seratus rumah. Ia berjanji, bila mereka meninggalkan keluarga dan rumahnya, para anggota keluarga rohani yang baru akan membuka rumah mereka sebagai tempat tinggal. Murid-murid sejati tak peduli dengan kepemilikan karena mereka sendiri tak memiliki apapun —mereka hanyalah pengelola milik Allah.
Teladan Akhir (A Final Example)
Ketika orang-orang membaca “Khotbah Yesus di Atas Bukit Zaitun” dalam Matius 24-25, sebagian mereka keliru menganggap bahwa Ia berbicara kepada orang yang belum selamat, sehingga mereka keliru menyimpulkan bahwa apa yang dikatakanNya tak berlaku bagi mereka. Mereka membaca Perumpamaan Hamba yang Tidak Setia dan Perumpamaan Sepuluh Gadis, seolah-olah kedua perumpamaan itu ditujukan bagi orang-orang tidak percaya. Tetapi, seperti sudah dikatakan, kedua perumpamaan itu ditujukan kepada murid-murid terdekat Yesus (lihat Matius 24:3;Mark 13:3). Karena itu, jika Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas perlu diberi peringatan akan kemungkinan mereka tidak siap ketika Yesus kembali, demikian juga kita diberi peringatan. Peringatan Yesus dalam “Khotbah Yesus di Atas Bukit Zaitun” juga berlaku bagi setiap orang percaya, bahkan mereka yang tidak berpikir demikian oleh karena mereka tidak mencatat siapa yang dituju oleh Yesus.
Aturan #3 Bacalah dengan Jujur. Jangan paksakan teologi anda dalam suatu teks. Jika anda baca hal yang bertentangan dengan keyakinan anda, jangan coba ubah Alkitab, tetapi ubah keyakinan anda.
Kita sering melakukan pendekatan ke Alkitab dengan kecenderungan yang sudah ada di pikiran kita sebelumnya. Karena itu, seringkali kita sangat sulit membaca Alkitab dengan jujur. Kita tinggalkan cara pemaksaan keyakinan kita kepada Alkitab, bukannya membiarkan Alkitab membentuk teologi kita. Kita kadang memburu ayat-ayat Alkitab yang mendukung doktrin-doktrin kita, dan tak peduli ayat-ayat yang menentang keyakinan kita. Ini disebut sebagai “pembuktian lewat teks”.
Baru-baru ini, saya temukan contoh pemaksaan teologi ke dalam sebuah teks. Ada seorang guru membaca Matius 11:28-29, kutipan yang sangat terkenal dari Yesus:
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (Matius 11:28-29)
Lalu, guru itu menjelaskan bahwa Yesus menawarkan dua kelegaan berbeda. Pertama (tampaknya), kelegaan keselamatan dalam Matius 11:28, dan kedua, kelegaan pemuridan dalam Matius 11:29. Kelegaan pertama diperoleh bila kita datang pada Yesus; kelegaan kedua diperoleh bila kita berserah padaNya sebagai Tuhan, atau memikul kukNya.
Namun, apakah pengertian itu yang Yesus maksudkan? Bukan, itu hanya pemaksaan arti ke dalam teks yang tidak dinyatakan secara gamblang atau secara tersirat. Yesus tidak berkata bahwa Ia menawarakan dua kelegaan. Ia menawarkan kelegaan kepada mereka yang letih-lesu dan berbeban-berat, dan cara mendapatkan kelegaan satu-satunya adalah memikul kuk Yesus, yakni berserah kepadaNya. Jelas, arti itulah yang Yesus maksudkan.
Mengapa guru itu menafsirkan demikian? Karena pengertian yang jelas dari perikop itu tak sesuai dengan keyakinannya bahwa ada dua jenis orang Kristen yang pasti ke sorga — orang percaya dan murid. Sehingga ia tidak menafsirkan perikop ini dengan jujur.
Tentunya, seperti kita lihat bagian-bagian lain dari ayat-ayat Alkitab dalam buku ini saat kita perhatikan teologi tersebut, bahwa penafsiran guru itu tak sesuai dengan konteks kelegaan yang Yesus ajarkan. Dalam Perjanjian Baru, tidak ada ayat yang mengajarkan tentang dua jenis orang Kristen yang pasti ke sorga, yakni orang percaya dan murid. Setiap orang percaya sejati adalah murid. Orang yang bukan murid bukan orang percaya. Pemuridan adalah buah dari iman yang sungguh-sungguh.
Usahakanlah baca Alkitab dengan jujur, dengan hati yang murni. Bila kita mau lakukan demikian, hasilnya nanti berupa kesungguhan hati dan ketaatan yang lebih kepada Kristus.
[1] Jelas, Paulus tidak percaya kepada keselamatan kekal yang tanpa syarat, jika tidak ia mungkin telah mengatakan kepada Timotius, orang yang diselamatkan, bahwa ia perlu melakukan sesuatu, agar keselamatannya.terjamin.
[2] Musa juga pernah melihat punggung Allah ketika Ia “berjalan berdampingan.” Allah memegang tanganNya sehingga menghalangi Musa agar tidak dapat melihat wajahNya; lihat Keluaran 33:18-23.
[3] Harus dicatat juga bahwa Yesus berkata sebelumnya dalam khotbahNya bahwa jika kebenaran dari pendengarNya tidak mengungguli kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, maka mereka tidak akan masuk sorga (lihat Matius 5:20). Yesus kemudian melanjutkan dengan mengungkapkan beberapa cara tertentu di mana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tak memilikinya.